Suatu ketika, Kekaisaran China Kuno pernah mengalami krisis gandum. Mi, yang harus terbuat dari gandum, menjadi barang langka dan mahal. Agar tidak terjadi huru-hara, Sang Kaisar pun kemudian minta diciptakan mi dari bahan lain. Maka para ahli pangan kekaisaran bekerja keras, sampai tercipta mi dari bahan tepung beras, yang mereka sebut mihun atau bihun. Sejak itulah di Kekaisaran China dikenal dua macam mi. Mi kuning dari bahan gandum, dan mi putih dari bahan beras. Sang Kaisar sangat senang, karena rasa mihun ini sangat khas, dan beda dengan mi biasa.
Pada jaman Kekaisaran China, semua mi dibuat secara manual, dengan menarik adonan tepung gandum, melumurinya dengan tepung kering, melipatnya menjadi dua, menariknya lagi dan seterusnya, hingga terbentuklah mi. Ujudnya adalah pita atau tali adonan dengan lebar sekitar 2 mm. Pita mi lebih kecil dibanding kwetiaw, atau spaghetti. Adonan tepung gandum punya kelebihan bisa ditarik menjadi mi, atau dilebarkan hingga setipis plastik, sebagai kulit martabak telor, karena mengandung zat gluten.
Gluten hanya ada pada karbohidrat gandum, meskipun tidak semua gandum. Karbohidrat lain, mulai dari beras, jagung, singkong, ubi jalar, kentang, keladi, talas, garut, ganyong, tidak ada yang mengandung gluten. Para ahli pangan di Kekaisaran China Kuno, tahu hal ini. Hingga mereka membuat mihun dengan cara lain. Adonan tepung beras yang tidak mungkin mereka tarik itu, mereka taruh dalam wadah yang bagian bawahnya penuh dengan lubang kecil-kecil. Adonan tepung beras yang keluar dari lubang itu langsung membentuk mihun.
# # #
Para bangsawan di Kekaisaran Jepang lain lagi. Mereka tahu bahwa gandum dan beras adalah biji-bijian yang kaya karbohidrat. Demikian pula dengan ubi jalar. Kalau mereka mengkonsumsi mi gandum maupun mi beras, maka badan akan menjadi gemuk. Kaisar lalu memerintahkan, agar diciptakan mi yang lezat, bisa mengenyangkan, tetapi tidak membuat badan menjadi gemuk. Para ahli pangan dari Negeri Matahari Terbit itu juga bekerja keras, sampai tercipta mi alternatif dari bahan iles-iles, yang mereka sebut konyaku (sebesar kwetiaw), serta shirataki (seukuran mihun).
Iles-iles (Amorphophallus konyak), adalah umbi sejenis suweg (Amorphophallus paeoniifolius), dan bunga bangkai raksasa (Amorphophallus titanum). Umbi iles-iles berdiameter sekitar 15 cm. Setelah dipanen, umbi ini dikupas, diiris tipis-tipis dan dikeringkan, kalu digiling menjadi tepung. Lazimnya, ketika bahan tepung diayak, seratnya dibuang, dan karbohidratnya diambil. Pada iles-iles, terbalik. Tepungnya dibuang, dan seratnya yang disebut glokomanan yang diambil. Kalau glokomanan ini dijerang dengan air panas, akan berubah menjadi jeli.
Kalau jeli ini diiris atau dicetak kasar, akan menjadi konyaku. Kalau irisannya halus sebesar mihun, akan menjadi shirataki. Dua produk pangan Jepang ini sangat lezat, mengenyangkan, tetapi tidak membuat kegemukan karena hampir tidak ada kalorinya. Dalam menghadapi kenaikan harga gandum belakangan ini, kita seharusnya belajar dari Kekaisaran China dan Jepang Kuno. Pertama-tama, kita memang harus mulai menanam gandum tropis. Sebab kenyataannya di beberapa kawasan pegunungan, gandum bisa tumbuh sangat baik.
Namun selain itu, harus segera diciptakan inovasi pangan alternatif non gandum. Singkong, jagung, beras, ganyong, garut, sagu, enau, sukun, sebenarnya bisa menjadi alternatif substitusi gandum. Baik gandum sebagai bahan mi, maupun roti. Sebab proses pembuatan mi kering (mi pabrik), tidak lagi dengan cara menarik adonan tepung gandum, melainkan dengan mencetaknya. Hingga tepung apa pun, sebenarnya bisa menjadi alternatif untuk substitusi, asalkan secara teknis rasa, aroma, dan karakteristiknya tidak terlalu berbeda jauh dari gandum.
# # #
Selama ini, para perajin roti skala kecil, sudah sering mensubstitusi tepung gandum dengan tepung beras, dan juga dengan singkong segar. Tetapi mereka justru telah melakukan penipuan ke konsumen. Sebab roti itu tetap mereka pasarkan sebagai roti konvensional dari tepung gandum. Tidak pernah ada inovator yang benar-benar berani tampil dengan roti singkong 100%, atau mi dari tepung sagu, tepung aren, atau tepung ganyong. Kita memang tidak pernah bisa seberani masyarakat pada jaman Kekaisaran China dan Jepang Kuno.
Selama ini, kita bahkan terlalu menganggap remeh komoditas penghasil karbohidrat selain padi, beras, dan jagung. Singkong, ubi jalar, dan keladi, kita anggap sebagai makanan orang miskin. Padahal, kalau ada inovasi sedikit saja, komoditas tersebut bisa naik peringkat. Contohnya Talas Bogor, dan Talas Pontianak, yang berhasil menjadi komoditas prestisius. Ubi dulunya juga makanan yang dianggap remeh. Tetapi Ubi Cilembu yang dioven, telah menjadi produk pangan yang sangat prestisius sejak sekitar 10 tahun terakhir ini.
Australia yang merupakan negeri kaya itu pun, masih mau menanam dan menepungkan ganyong (Canna edulis), dan mengekspornya ke Eropa sebagai tepung Queensland Arrowroot. India yang surplus beras dan gandum, masih sangat memperhatikan suweg. RRC meski merupakan penghasil beras, gandum, ubijalar, dan kentang nomor satu di dunia, tetap masih memperhatikan biji bayam (Amaranth Grain). Dan uwi-uwian yang di negeri ini tersia-siakan, di Taiwan bisa hadir sebagai cake eksklusif warna ungu muda, di sebuah hotel bintang di Taipei. (R) # # #