KINA DAN CORONA

Chloroquine dan Hydroxychloroquine disebut-sebut bisa menyembuhkan penyakit akibat serangan Virus Corona (COVID-19, SARS-CoV-2). Chloroquine yang berasal dari kulit batang kina, bukan barang baru, karena sudah digunakan tahun 2003 untuk SARS-CoV.

Virus Corona (COVID-19, Coronavirus disease 2019), disebabkan oleh Severe acute respiratory syndrome coronavirus (SARS-CoV), yang menjadi pandemi tahun 2003. Ketika akhir tahun 2019 SARS-CoV strain baru muncul di Wuhan, China dan tahun 2020 menjadi pandemi dunia, virus ini disebut SARS-CoV-2. Meskipun kemudian lebih populer dengan sebutan COVID-19, atau Virus Corona. Sedangkan SARS-CoV lebih sering disebut sebagai wabah SARS. Pada waktu wabah SARS 2003, Chloroquine juga sudah digunakan untuk mengatasi penyakit sindrom pernapasan akut ini.

Setelah wabah SARS 2003, Virus Corona beberapa kali bermutasi. Tahun 2004, muncul Human coronavirus NL63 atau HCoV-NL63. Kemudian 2005 datang Human coronavirus HKU1 (HCoV-HKU1). Tahun 2012 merebak Middle East respiratory syndrome-related coronavirus (MERS-CoV), atau EMC/2012 (HCoV-EMC/2012). Selain menyerang manusia, MERS-CoV juga menginveksi unta dan kelelawar. Itulah sebabnya ada dugaan bahwa COVID-19 atau SARS-CoV-2 yang menjadi pandemi tahun 2020 ini, awalnya ditularkan oleh kelelawar ke manusia. Meskipun dugaan ini tak pernah bisa dibuktikan kebenarannya.

Chloroquine (C18H26ClN3) dan Hydroxychloroquine (C18H26ClN3O); berasal dari bahan yang sama, yakni Quinine (C20H24N2O2), dari kulit batang kina (Cinchona). Yang membedakan Chloroquine dengan Hydroxychloroquine hanya satu atom O. Chloroquine tak punya atom O, Hydroxychloroquine mengandung satu atom O. Atom O dalam Chloroquine dan Hydroxychloroquine berasal dari Quinine, yang mengandung oksigen (O2). Pada waktu merebaknya wabah SARS 2003, Chloroquine sudah digunakan untuk menanggulangi merebaknya virus tersebut. Hingga penggunaan Chloroquine dalam COVID-19, bukan sesuatu yang baru.

Dari Obat Malaria

Kina, genus Cinchona berasal dari Amerika Tropis. Tumbuh berupa pohon, genus Cinchona terdiri dari 38 spesies. Kina yang potensial dikembangkan sebagai penghasil obat hanya dua, Cinchona succirubra (kina succi) untuk batang bawah, dan Cinchona ledgriana (kina ledger) untuk batang atas. Klon-klon kina unggul lain hasil pemuliaan Pusat Penelitian Teh dan Kina Gambung, adalah Cib 6, KP 105, KP 473, KP 484 dan QRC. C. calisaya Wedd. (kina kalisaya). Kina akan tumbuh optimum apabila dibudidayakan di lahan berketinggian 1.400 – 1.700 meter dpl. Kurang dari 1.400 m. dpl, pertumbuhan kina tidak optimum.

Kina dipanen kulit batangnya pada ketinggian sekitar 1,5 sampai 2 meter di atas sambungan, agar tunggul pohon bisa menumbuhkan tunas baru. Pada awal abad XX, Indonesia pernah menjadi pemasok 90% kebutuhan kina dunia. Produksi kulit kina kering Hindia Belanda waktu itu antara 11.000 – 12.000 ton per tahun, dan sebagian dipasok dari Jawa Barat. Sekarang Indonesia justru menjadi importir kina, untuk memenuhi kebutuhan pabrik kina di PT Sinkona Indonesia Lestari, di Ciater, Subang, Jawa Barat. PT Sinkona merupakan satu-satunya perusahaan kina Indonesia, patungan antara PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII, PT Kimia Farma, dan PT Tri Usaha Bhakti (Yayasan Kartika Eka Paksi).

Kapasitas produksi PT Sinkona sekitar 150 ton kinina sulfat (kinina dan kinidina) per tahun, setara dengan 3.000 – 5.000 ton kulit kina. Produksi kulit kina PTPN VIII, hanya sekitar 1.500-1.800 ton per tahun. Untuk menutup kebutuhan, PT Sinkona mengimpor kulit kina kering sekitar 1.500 sampai 4.500 ton dari Afrika. Alasan tak menanam sendiri, konon karena impor lebih murah. Tetapi kalangan PTPN VIII ada yang mengatakan bahwa itu “permainan”. “Kalau tanam sendiri tidak ada yang bisa dikorupsi. Karena kina hampir tak perlu perawatan, tak perlu pupuk, apalagi pestisida. Kalau impor banyak yang bisa dimainkan.”

Virus Tak Perlu Diobati

Virus, termasuk corona virus, tak bisa diobati; dalam arti virus yang telah masuk ke tubuh manusia dimatikan. Chloroquine dan Hydroxychloroquine juga bukan pembunuh virus, melainkan menghambat pertumbuhan virus. Vaksin virus, misalnya virus influensa tipe B, juga bukan berupa obat anti virus. Vaksin justru berupa virus yang telah dilemahkan, kemudian dimasukkan ke tubuh manusia sehat. Karena kemasukan virus, secara otomatis tubuh akan membuat antibodi, hingga bisa bertahan apabila virus serupa yang datang dari luar masuk ke tubuh yang telah diberi vaksin.

Para penderita akibat serangan virus corona, sebenarnya tak perlu diberi obat. Terlebih apabila serangan itu masih dalam tahap dini. Yang penting tubuh dijaga agar tetap sehat, dengan asupan nutrisi yang cukup. Kelebihan virus corona, bukan berupa daya bunuh terhadap manusia, melainkan daya penyebarannya sangat kuat. Data mutakhir saat tulisan ini dibuat, virus corona telah menginveksi sekitar 250.000 orang di 160 negara di dunia. Tetapi dibanding penduduk dunia saat ini sebesar 7,53 milyar; angka itu hanya 0,003%. Terlebih, dari 250.000 terpapar virus corona, yang meninggal hanya 4% (10.000 jiwa).

Heboh virus corona awal tahun 2020 ini, hanya karena vaktor penyebarannya yang sangat mudah dan cepat. Bukan karena tingkat daya bunuhnya yang kuat. Ketakutan massal akibat penyebaran virus corona, juga disebabkan oleh adanya fenomena media sosial. Dibanding wabah Flu Spanyol tahun 2018 dengan korban meninggal sekitar 50 juta jiwa, corona tak ada apa-apanya. Terlebih jika dibandingkan dengan wabah penyakit pes di Eropa abad 14, dengan perkiraan korban meninggal antara 75 juta sampai 200 juta jiwa. Pada abad 14, penduduk dunia baru 450 juta jiwa, hingga korban wabah pes itu antara 16,6% sampai 44,4% dari seluruh populasi umat manusia. # # #

Artikel pernah dimuat di Tabloid Kontan
Foto F. Rahardi

Leave a comment