ILES-ILES/PORANG, ACUNG, WALUR DAN SUWEG

Sejak tahun 2018 yang lalu ada komoditas yang sedang naik daun, namanya porang. Apakah umbi porang sama dengan iles-iles? Apakah bedanya dengan umbi acung dan walur yang tumbuh liar; dan suweg yang dibudidayakan di kampung? (Atiek, Surabaya).
________________________

Sdr. Atiek, porang merupakan nama lain (sinonim) dari iles-iles. Nama botani porang/iles-iles Amorphophallus mueleri. Umbi porang berukuran bobot 1 kilogram, dan permukaan kulit umbinya halus (tidak ada anakan). Warna daging umbi oranye. Ciri khas porang/iles-iles, ada umbi atas yang tumbuh pada ketiak (percabangan) tangkai daun. Umbi atas iles-iles/porang disebut bulbil atau katak. Hanya iles-iles/porang yang menumbuhkan umbi atas. Bulbil/katak merupakan bahan benih porang/iles-iles paling baik dan paling cepat menghasilkan dibanding benih asal biji. Porang/iles-iles tak menumbuhkan umbi anak di dalam tanah.

Acung lain dengan porang dan iles-iles. Nama botani acung Amorphophallus decus-silvae. Walur, Amorphophallus variabilis juga beda dengan iles-iles/porang. Ada yang beranggapan bahwa walur itu Bahasa Jawa dan acung Bahasa Sunda untuk umbi yang sama, yakni Amorphophallus variabilis. Tetapi ada yang berpendapat bahwa walur dan acung memang beda spesies. Baik walur maupun acung berdaging umbi warna putih. Batang (tangkai daun) walur warna hijau dengan belang-belang putih, sedangkan acung warna hitam dengan belang-belang putih. Baik walur maupun acung tumbuh liar.

Walur dan acung tak menumbuhkan umbi atas maupun bawah, hingga berkembangbiak hanya dengan biji. Umbi acung dan walur berukuran sama besar dengan umbi iles-iles/porang. Suweg, Amorphophallus paeoniifolius, lain lagi. Umbi suweg tidak tumbuh liar melainkan dibudidayakan masyarakat, untuk dipanen umbinya. Umbi suweg berukuran besar, dengan bobot bisa di atas lima kilogram per umbi. Ukuran umbi suweg hanya kalah dari umbi bunga bangkai raksasa, titan arum, Amorphophallus titanum, yang bisa mencapai bobot di atas 20 kilogram per umbi. Umbi suweg bisa langsung dikukus dan dikonsumsi.

Dari umbi iles-iles/porang dihasilkan glukomanan untuk bahan konyaku dan shirataki, makanan khas Jepang. Di Jepang, Korea dan RRT, konyaku dan shirataki terbuat dari glukomanan umbi konjak (Amorphophallus konjac).  Konyaku adalah block jelly, yang bisa dikonsumsi dengan dipanggang, digoreng, atau dikukus, dan dipotong-potong.  Kalau block jelly ini dipotong seperti mi atau kwetiau, jadilah shirataki. Sebenarnya dalam umbi walur, acung, dan suweg juga terkandung glukomanan. Bedanya, kandungan glukomanan iles-iles/porang  mencapai 50% dari umbi kering. Acung dan walur 20%, sedangkan  suweg 5% dari umbi kering.

Umbi iles-iles hasil budidaya dipanen setelah mencapai diameter 18 cm. Umbi utuh ini segera diiris menjadi belahan setebal 0,5 sd. 0,7 cm. Irisan umbi direndam dalam larutan garam 5% atau Sodium metabisulfite (Na2S2O5) untuk menghilangkan kalsium oksalat dan alkaloid yang bisa menimbulkan rasa gatal dan pahit, sekaligus untuk bleaching (pemutihan). Setelah perendaman sekitar 1 menit, irisan umbi segera dijemur. Untuk mencapai tingkat kekeringan dengan kadar air antara 8 – 12 %, diperlukan penjemuran sekitar 3 – 4 hari penuh. Dengan dryer bersuhu 60° C, lama pengeringan sekitar 6,5 jam.

Keripik iles-iles diolah lebih lanjut dengan ditumbuk atau digiling dan diayak dengan ayakan 35 mesh atau dengan bantuan blower. Tepung iles-ilesnya akan lolos dari lubang ayakan, sementara glukomanannya yang akan tertinggal dalam ayakan. Glukomanan ini tahan disimpan dalam wadah tertutup selama sekitar 4 bulan. Untuk diolah menjadi konyaku atau shirataki, tiga gram glukomanan dilarutkan dalam 100 cc. air sambil diaduk dan diberi kapur sirih. Setelah adonan mulai mengeras, segera dicetak membentuk segiempat memanjang (konyaku) maupun dibentuk seperti mi (shirataki).

Secara teknis, glukomanan bisa diproduksi dalam skala rumah tangga. Namun secara ekonomis, diperlukan sebuah pabrik besar untuk menepungkan keripik iles-iles, kemudian mengekstraknya menjadi glukomanan. Para petani iles-iles/porang, lebih senang menjual umbi segar ke tengkulak seharga antara Rp 3.000 sampai dengan Rp 5.000 per kg, bergantung lokasi pengambilan. Para tengkulak akan menyortir umbi, mengiris dan mengeringkannya, lalu mengirim ke pabrik glukomanan. Saat ini di Indomesia sudah ada beberapa pabrik glukomanan, antara lain di Bekasi, Madiun, dan Surabaya. # # #

Artikel pernah dimuat di Kontan Pagi

Leave a comment