ANTARA BERAS DAN GANDUM

Di warung kelontong, gerai Indo Maret dan Alfa Mart di Jabodetabek; harga rata-rata tepung beras Rp 6.500 per kemasan 0,5 kilogram (Rp 13.000 per kilogram). Di gerai yang sama, harga tepung terigu Bogasari kemasan 1 kilogram Rp 9.000 (Kunci Biru), Rp 10.000 (Segitiga Biru) dan Rp 11.000 (Cakra Kembar).

Murahnya harga tepung terigu di Jabodetabek bisa dimaklumi. Selama 2018, Badan Pusat Statistik mencatat impor gandum Indonesia dalam berbagai bentuk sebesar 9,4 juta ton, dengan nilai Rp 35,6 triliun. Harga impor produk gandum Indonesia dalam berbagai bentuk selama 2018; rata-rata hanya Rp 3.763,2 per kilogram. Ditambah biaya pengapalan, bea masuk, biaya giling, pengemasan, distribusi, pajak dan keuntungan; harga tepung terigu rata-rata menjadi Rp 10.000 per kilogram. Harga itu lebih murah dibanding tepung beras rata-rata Rp 13.000 per kilogram.

Bahkan harga impor produk gandum Indonesia senilai Rp 3.763,2 per kilogram; masih lebih murah dibanding harga gabah nasional di tingkat penggilingan tahun 2008 yang rata-rata senilai Rp 5.500 per kilogram. Indonesia merupakan produsen padi terbesar nomor tiga dunia. Tahun 2017 Food and Agriculture Organization (FAO) mencatat lima negara penghasil padi utama dunia adalah RRT 214,4 (juta ton); India 168,5; Indonesia 81,3; Bangladesh 49; Vietnam 42,8. Total produksi padi dunia 2017 sebesar 769,7 juta ton. Indonesia tidak menghasilkan gandum, karena komoditas ini merupakan tanaman subtropis.

Tahun 2017 FAO mencatat lima besar penghasil gandum dunia adalah: Uni Eropa 150,2; RRT 134,3; India 98,5; Russia 85,9; AS 47,3. Total produksi gandum dunia 2017 sebesar 730 juta ton, lebih kecil dibanding produksi padi dunia. Logikanya, komoditas yang diproduksi lebih banyak, akan berharga lebih murah dibanding komoditas yang diproduksi lebih sedikit. Produksi padi 769,7 juta ton; justru lebih besar dibanding dengan produksi gandum yang hanya 730 juta ton. Yang menjadi pertanyaan, mengapa gandum dengan volume produksi lebih kecil; bisa lebih murah dari padi? Karena gandum diproduksi dengan biaya lebih efisien dari padi.

Rakus Air

Sebagian besar padi dibudidayakan di lahan sawah dengan air tergenang. Hanya sebagian kecil merupakan padi ladang (padi gogo, padi lahan kering). Lain halnya dengan gandum yang semuanya dibudidayakan di lahan kering. Air irigasi di sentra padi utama Indonesia, merupakan air waduk, yang dibangun dan didistribusikan dengan biaya tinggi. Misalnya sentra padi di Pantura Jawa Barat, yang mendapatkan air irigasi dari Waduk Jatiluhur. Selama ini beban biaya pembangunan waduk dan saluran irigasi memang ditanggung pemerintah, dan hanya dibebankan ke petani berupa pajak bumi.

Dalam pertanian padi sawah, mutlak harus ada pematang untuk membuat air irigasi bisa tergenang. Biaya pembuatan dan perawatan pematang, akan dimasukkan petani ke dalam komponen harga gabah. Selain itu, ruang yang ditempati pematang, tidak bisa ditanami padi. Hingga produksi per satuan hektar, terkurangi oleh pematang. Dalam budidaya gandum di lahan kering, tak ada biaya pembangunan waduk, saluran irigasi dan pematang. Air tergenang, juga membuat penyerapan pupuk urea (nitrogen), tidak optimum. Sebagian besar nitrogen hanyut terbawa air meskipun saat penebaran pupuk, sawah telah dikeringkan.

Kecuali di India; gandum di Uni Eropa, Russia, RRT dan AS dibudidayakan secara ekstensif dengan mekanisasi. Mulai dari pengolahan lahan sampai panen, semua dikerjakan oleh mesin. Bahkan dalam skala luas, benih dan pupuk ditebar menggunakan pesawat pertanian. Gulma tidak disiangi dan dibiarkan tumbuh bersama tanaman utama. Di sentra padi di Indonesia, mekanisasi baru sebatas ke pengolahan lahan menggunakan traktor; dan penggilingan padi menggunakan huller. Selebihnya masih dikerjakan secara manual menggunakan tenaga manusia. Dampaknya biaya untuk memroduksi per kilogram gabah, lebih tinggi dari biaya per kilogram dalam memroduksi gandum.

Padi Ladang BUMN

Indonesia punya beberapa varietas padi ladang (padi gogo, padi lahan kering). Di antaranya LIPI Go 1, 2 dan 4; hasil pemuliaan LIPI. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi juga telah menghasilkan padi ladang unggul Inpago. Rata-rata umur panen padi ladang memang lebih panjang dari padi sawah. Padi sawah rata-rata bisa dipanen pada umur 4 bulan. Sedangkan padi ladang 6 bulan. Produktivitas padi ladang hanya 1,5 ton per hektar per musim tanam, sedangkan padi sawah rata-rata 4 ton per hektar per musim tanam. Tetapi rata-rata produksi gandum juga hanya 2,5 ton per hektar per musim tanam.

Selama ini perhatian pembenih dan petani Indonesia, lebih banyak tertuju ke produktivitas, volume hasil panen per satuan luas dan musim. Misalnya varietas tertentu diklaim bisa menghasilkan 12 ton gabah kering giling per hektar per musim tanam. Padahal yang diperlukan bukan itu, melainkan berapa biaya produksi per ton gabah. Sebab itulah yang akan menentukan tinggi rendahnya harga beras di pasaran. Para petani di Uni Eropa, Russia, RRT, India dan AS; hanya berpatokan, berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk memroduksi tiap kilogram gandum. Bukan berapa hasil panen per satuan hektar.

Kita punya BUMN yang tiap tahunnya rutin menanam ulang (replanting) komoditas mereka. Misalnya karet, kopi, teh, kakao, sawit, jati. Dalam replanting, pekebun lebih banyak membiarkan tanah mereka menganggur. Agar tidak tumbuh gulma, mereka menanam tanaman penutup tanah (cover crops). Idealnya lahan replanting itu ditanami tanaman pangan, terutama padi. Atau sekalian pemerintah menugaskan PTPN untuk membudidayakan padi ladang secara ekstensif, monokultur, dengan mekanisasi. Sebab untuk menekan biaya produksi, mekanisasi mutlak diperlukan agar diperoleh hasil optimum. # # #

Artikel pernah dimuat di Tabloid Kontan
Foto F. Rahardi

Leave a comment