SURIAN, MAHONI INDONESIA

Dalam dunia perkayuan, nama mahoni (mahogany, Swietenia macrophylla) sedemikian populernya, hingga kayu-kayu lain ditempeli nama mahoni. Misalnya surian, suren, Toona sureni; yang disebut Indonesian mahogany.

Padahal surian dan mahoni lain genus meskipun sama-sama suku duku-dukuan Meliaceae. Suren tumbuhan asli Indonesia dengan sebaran Asia Selatan, Asia Tenggara, sebagian Tiongkok, dan Papua Nugini. Seluruh bagian tanaman surian, termasuk kayu dan kulit kayunya, mengandung tunasilin dan surenolakton; yang merupakan bahan pestisida alami. Keberadaan dua komponen pestisida ini ditandai dengan aroma kayu dan kulit kayu yang cukup tajam. Ekstrak biji surian juga mengandung zat yang sama hingga dapat membunuh ulat hama sayuran Eurema dan Spodoptera.

Meskipun mengandung zat pestisida, anehnya, pucuk surian justru edible. Masyarakat Jambi, Riau, Sumatera Barat dan Sumatera Utara biasa mengonsumsi pucuk surian. Di Daratan China, pucuk surian China, Chinese mahogany, Toona sinensis; juga sangat populer sebagai sayuran. Meskipun tanaman surian juga banyak tumbuh di Pulau Jawa, khususnya di Jawa Tengah, tetapi masyarakat Jawa malah tidak tahu bahwa pucuk surian edible. Hingga para petani hanya memanfaatkan potensi surian sebagai penghasil pestisida alami. Itulah sebabnya surian banyak ditanam di tepi petakan lahan sayuran. Para petani percaya, keberadaan pohon surian, akan membuat hama thrips takut mendekat.

Surian merupakan tanaman yang cepat tumbuh, berbatang utama lurus, tanpa cabang dan mampu tumbuh antara 40 sampai dengan 60 meter. Diameter batang bisa sampai satu meter pada umur di atas 20 tahun. Surian tumbuh baik pada elevasi 700 sampai 1.200 meter dpl. Tanaman ini berdaun majemuk menyirip (pinnatus); dengan panjang antara 30 sentimeter sampai dengan 80 sentimeter. Bunga surian tumbuh di ujung ranting berupa malai sepanjang sampai 40 sentimeter. Tetapi masing-masing individu bunga hanya berukuran kurang dari lima milimeter. Buah surian berupa kapsul dengan sekitar 100 biji sangat kecil di dalamnya.

Tahan Rayap

Secara umum, kualitas kayu ditentukan oleh tingkat kekerasan (kepadatan), kekuatan, keawetan; dan kemudahan pengerjaan. Kayu lengkeng yang sangat keras, kuat, dan awet; hampir tidak mungkin diolah menjadi mebel atau bahan bangunan; karena seratnya liat hingga sulit pengerjaannya (pemotongan, pembelahan, penyerutan). Tingkat kekerasan dan kekuatan kayu suren tidak setinggi kayu lengkeng. Tetapi serat kayu suren lurus dan renyah, hingga mudah pengerjaannya. Tingkat keawetan kayu suren relatif tinggi, karena adanya kandungan tunasilin dan surenolakton yang berfungsi sebagai anti rayap, teter dan bubuk.

Selain faktor kekerasan, kekuatan, keawetan dan kemudahan pengerjaan, kualitas kayu juga dipengaruhi oleh warna dan alur serat. Serat kayu suren sangat teratur, kelihatan jelas, dengan warna merah muda. Hingga tanpa pewarnaan, terkstur dan warna kayu suren sudah sangat menarik. Pemberian nama mahoni Indonesia untuk kayu suren, sebenarnya hanya karena masyarakat Eropa lebih dulu mengenal mahoni, baru kemudian suren. Sebab kualitas serat dan warna kayu suren justru lebih baik dibanding mahoni. Mestinya, justru mahoni yang disebut sebagai suren Amerika Tropis (South America toon).

Harga kayu, ditentukan oleh panjang dan diameter balok. Semakin panjang dan besar diameternya, akan semakin tinggi harganya. Pada saat tulisan ini dibuat, harga rata-rata kayu suren Rp 3.000.000 per meter kubik. Harga ini lebih tinggi dibanding harga rata-rata mahoni Rp 2.500.000; dan sengon Rp 1.500.000 per meter kubik. Selain karena kualitas, tingginya harga kayu suren dibanding mahoni dan sengon; juga karena faktor permintaan dan pasokan. Sengon sudah bisa diproduksi massal. Mahoni sudah banyak dibudidayakan di Hutan Tanaman Industri (HTI), sedangkan suren masih sebatas ditanam di lahan petani.

Potensi Ekonomi

Kayu apa pun, termasuk yang dulunya tak laku, sekarang semua jadi uang. Dulu kayu kapuk randu yang ditebang hanya dibiarkan lapuk membusuk di lahan. Sekarang kayu kapuk laku untuk pembatas cor-coran semen. Bahkan kayu sengon (jeungjing) yang dulunya hanya jadi bahan bangunan murah karena tingkat kekerasan, kekuatan dan keawetannya sangat rendah; sekarang jadi rebutan. Sebab kayu sengon merupakan bahan barecore yang hampir 100% diekspor ke RRT. Jabon yang pernah dipromosikan sebagai “jati bongsor” ternyata tumbuh lamban dan ditolak pabrik barecore karena faktor kuantitas dan kontinuitas.

Selain itu, kualitas serat kayu jabon ternyata juga tak sebaik sengon. Dalam hal ini, suren bisa menjadi kayu mahal di masa mendatang. Untuk itu perlu ada yang memulai. BUMN seperti Perum Perhutani, atau PTPN, selama ini juga sudah membudidayakan suren. Meskipun belum massal seperti pinus dan mahoni. Pinus dipilih karena selain dipanen kayunya, juga bisa disadap untuk diambil gondorukem (resin) dan terpentinnya. Mahoni ditanam massal oleh Perum Perhutani di hutan dataran rendah. Di dataran tinggi, suren kalah bersaing dari pinus. Tetapi sebenarnya suren bisa menang dari akasia gunung.

Selama ini lahan Perhutani di dataran tinggi, lebih banyak ditanami akasia dan sengon gunung. Akasia gunung dipanen kulit kayunya sebagai bahan penyamak kulit hewan, sedangkan kayunya hanya untuk arang. Sengon gunung hanya berfungsi sebagai tanaman reboisasi karena kualitas kayunya sangat rendah. Secara ekonomis, suren lebih layak untuk ditanam massal di lahan Perum Perhutani di dataran tinggi. Faktor pembenihan, mulai dari panen biji sampai penyemaian dan penanaman di lapangan, sudah bukan masalah bagi Perum Perhutani. Makin ke depan, kayu akan semakin menjadi komoditas langka dengan nilai tinggi. # # #

Artikel pernah dimuat di Tabloid Kontan
Foto F. Rahardi

Leave a comment